Rabu, 27 Agustus 2014

Sekapur Sirih Tentang Photoacoustic Imaging

Tumben ngepost beginian, Ul? Mbok ben.

***

Photoacoustic imaging. Opo kuwi? Daripada bingung coba kita lihat per kata. Photo itu, berhubungan dengan cahaya. Acoustic, berhubungan dengan bunyi, atau gelombang mekanik (gelombang yang muncul akibat adanya gerakan/getaran) pada umumnya. Imaging, kata dasarnya image, gambar. Kalo digabung kurang lebih jadi gini: teknik mengambil gambar dengan bantuan cahaya dan gelombang mekanik. 

Still not helping, Ul. Oh tenang, I have plenty of time to explain this bit by bit.

Jadi sebenernya photoacoustic imaging ini adalah salah satu cara yang bisa dipake untuk mengambil gambar dari daleman tubuh kita. Jaringan-jaringannya gitu maksudnya. Cara yang lain, yang lebih duluan tenar, adalah X-ray. Tapi kali ini lupakan dulu X-ray, kapan-kapan deh dibahas juga kalo ada mood.

Mari kita singkat photoacoustic imaging menjadi PI mulai dari sekarang, atas nama kepraktisan.

PI ini, setipe dengan X-ray, tekniknya adalah dengan memancarkan gelombang elektromagnetik ke jaringan tubuh makhluk hidup. Dalam kasus PI, yang dipancarkan adalah laser. Lasernya pun nggak dipancarkan secara kontinu, tapi berupa pulse, jadi cuma sekeclap-sekeclap(?) gitu lah kira-kira. Laser itu singkatan loh, kepanjangannya "Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation". Nah, jadi intinya laser itu salah satu bentuk dari cahaya. Dari sinilah asal kata photo di PI.

Acoustic nya dari mana? Sabar, we'll get to it soon (maybe).

Laser itu cahaya, cahaya itu bentuk dari energi. Kalo dipancarkan ke jaringan tubuh, sebagian bakal diserap, dan dikonversi jadi bentuk energi lain: panas. Nah panas ini menyebabkan terjadinya "transient thermoelastic expansion" atau gampangnya pemuaian.

Intermezzo dulu tentang pemuaian. Dulu jaman SD saya pertama kali diajarin tentang pemuaian sama guru IPA merangkap wali kelas saya. Jadi waktu itu pemuaian diilustrasikan seperti ini. Bayangkan ada sekelompok orang berkumpul, anggap saja berbaris, rapat baik dengan sisi kiri kanan maupun depan belakang. Barisan ini anggaplah sebagai sebuah benda, dan orang per orang ini adalah molekul yang menyusun si benda.

Anak SD lagi baris

Kalau tiba-tiba matahari bersinar terik sekali, pasti si orang-orang dalam barisan mulai kepanasan, dan lama-kelamaan mereka nggak akan betah berada dalam barisan yang rapat kanan kiri depan belakang. Alhasil, mereka bakal bergerak menjauh satu sama lain, sehingga jarak antar orang bakal lebih gede daripada sebelumnya. Total barisan ini bakal lebih makan tempat daripada sebelum kena terik matahari. Kurang lebih beginilah, pemuaian.

Selain pemuaian, benda yang kena panas juga bakal menghasilkan gelombang ultrasonik. Masih inget pelajaran SD? Ada gelombang infrasonik, audiosonik, ultrasonik. Manusia cuma bisa denger yang audiosonik, sementara infrasonik dan ultrasonik bisa didengar oleh beberapa jenis hewan. 

Beliau bisa mendengar bunyi-bunyi yang tidak bisa didengar manusia.

Nah, darimana asal gelombang ultrasonik tadi? Kalo kita balik lagi ke ilustrasi tentang pemuaian, gelombang ultrasonik ini nampaknya muncul dari gerakan molekul benda ketika saling menjauh gara-gara kena panas. Walau nggak bisa didengar oleh manusia, gelombang ultrasonik ini termasuk gelombang bunyi. Dari sinilah asal kata acoustic di PI.

Mari kita singkat ultrasonik menjadi US mulai dari sekarang, atas nama kepraktisan. 

Gelombang US inilah yang bisa kita manfaatkan untuk mendapatkan gambar jaringan tubuh. Si gelombang US yang memancar dari jaringan tubuh yang kena laser tadi, ditangkep oleh US transducer. Opo maneh kuwi transducer? Transducer itu alat yang bisa mengkonversi sinyal dari bentuk energi yang satu ke bentuk yang lain. Kalo US transducer ya berarti dia bisa nangkep gelombang US (bunyi), kemudian mengkonversinya ke bentuk lain biar bisa diproses sampai menghasilkan informasi yang kita butuhkan: gambar jaringan tubuh.

Gimana sih kok dari gelombang US kita bisa dapetin gambar? Kita mesti agak mundur ke bagian penyerapan cahaya (laser). 

Mari kita (lagi-lagi) inget-inget pelajaran SD, atau SMP ya, lupa. Saya diajarkan tentang gimana kok kita bisa lihat warna-warna. Oke, pertama gini. Kalo ada cahaya, kita bisa dengan jelas melihat dan membedakan warna. Kalo gelap, nggak ada cahaya? Mana bisa. Berarti cahaya berperan penting. Lalu, cahaya yang kita lihat, yang kita dapatkan sehari-hari itu warnanya putih. Fun fact, putih adalah gabungan dari semua warna. Bisa dibuktiin kok. Coba bikin spinning wheel kayak yang buat roulette gitu, tapi warnai tiap slice nya dengan warna berbeda cem pelangi gitu. Terus puter. Warnanya bakalan jadi putih!



Nah, suatu benda bisa kelihatan berwarna sesuatu karena ada cahaya (putih) yang memancar ke benda itu, kemudian si benda memantulkan warna tertentu dan menyerap semua warna lainnya. Kasus ekstrem, benda berwarna hitam menyerap semua warna. Sebaliknya, benda putih memantulkan semua warna. Dari dua kasus ekstrem ini, bisa kita simpulkan kalo makin gelap (menuju hitam) warna benda, makin banyak menyerap cahaya. Sebaliknya, makin terang (menuju putih) warna benda, makin sedikit menyerap cahaya.

Sekarang kita tahu kalo penyerapan cahaya (laser) oleh jaringan tubuh dipengaruhi oleh intensitas warna, atau bahasa londo nya, intensity, atau bisa juga brightness. Daleman tubuh kita emang dasarnya warnanya merah kan ya, tapi intensitasnya beda-beda. Ada yang merah tua, merah mencrang, merah muda, dll. Bagian tubuh dengan intensitas warna berbeda menyerap energi cahaya dengan porsi yang berbeda, menghasilkan panas dengan porsi yang berbeda juga, dan akhirnya memancarkan gelombang US dengan porsi yang juga berbeda. Dari situlah, akhirnya kita bisa merekonstruksi gambar bagian dalam tubuh dari gelombang US yang beda-beda porsinya tadi.

Kalo misalnya pingin fokus ke organ atau jaringan tertentu, pingin gambarnya lebih jelas daripada bagian lainnya, kita mesti bikin si organ atau jaringan tertentu tadi berwarna kontras dibanding sekelilingnya. Hal ini bisa dilakukan dengan masukin (entah disuntikin atau gimana) contrast agent, semacem zat warna yang bisa bikin mencrang organ atau jaringan tertentu sehingga hasil imaging nya bakal lebih jelas. Atau, sebenernya haemoglobin a.k.a Hb dalam darah itu adalah contrast agent alami yang sudah cukup mumpuni. Jadi misalnya kalo mau lihat peta aliran darah pake PI, kita nggak perlu agent lagi, karena darah itu sendiri udah cukup mencrang, thanks to Mr Hb. 

Well, that's all, folks! Semoga rada bermanfaat. Saya juga nggak tahu kerasukan apaan sampe bikin postingan beginian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya! :))

Rabu, 13 Agustus 2014

Mudik (Part 3)

'Family Members'
 
I am a cat person. Saya punya tujuh kucing di rumah. Tiga dewasa, satu agak-agak remaja labil, tiga bocah. Yang dewasa, jantan satu betina dua. Yang remaja labil jantan. Yang bocah jantan satu betina dua. Yang jantan dewasa ini kucing Persia. Big boss of all feline in the house. Beliau inilah yang membuntingi(?) salah satu kucing betina di rumah sehingga menghasilkan tiga kucing bocah. Si kucing betina yang ini kucing kampung yang ditemukan adek saya dua tahun silam di selokan. Sekarang udah jadi ibu. Time flies, fast.
 
Kucing betina yang satu lagi, kucing Himalaya. Konon hasil persilangan kucing Persia dan kucing siam, menghasilkan kucing cantik berbulu panjang cem kucing Persia, tapi warnanya ikut warna kucing Siam, yang mukanya item. Kucing Himalaya yang ini kucing pertama saya. Cantik, pake banget. Kadang-kadang dia suka mampir ke kamar saya. Saya lagi tiduran main hape atau laptop atau baca komik, terus dia ambil pose sphinx di kasur, sebelah saya, ngeliatin.
 
Kesayangan
 
Atas-bawah: remaja labil, kucing betina kampung, kucing-kucing  bocah
 
Si kucing remaja, dia ini anaknya si kucing Himalaya. Kawin sama kucing kampung di komplek. Warna ikut bapaknya, bulu ikut ibunya. Waktu itu si kucing Himalaya melahirkan delapan anak sekaligus. Pada dikasih-kasihin ke sodara, disisain satu buat di rumah, ya si remaja labil ini. Mungkin karena kesepian nggak punya teman dan kurang kasih sayang orangtua di masa kecil, akhirnya dia sekarang suka nempel ke kucing betina kampung, bahkan suka main bareng kucing-kucing bocah.
 
Kucing-kucing bocah jadi bintang panggung utama. Lagi lucu-lucunya. Udah cukup gede tapi masih terus-terusan dimanja: ibunya masih mau nyusuin. Tiap dibebasin main di ruang tengah, langsung kejar-kejaran nggak karuan, manjat gorden dan teralis, nyakar-nyakar sofa, main smackdown, dan sebagainya. Kalo udah mulai capek, cari-cari ibunya, nyusu. Atau langsung tepar di sofa atau di lantai, tidur dengan pose-pose adorable.
 
Saya nggak inget gimana suasana rumah saya sebelum punya kucing. Yang jelas semenjak punya kucing, kok rasanya indeks kebahagiaan saya meningkat. Bahkan sekedar melihat kucing-kucing berserakan di lantai pas pulang ke rumah, langsung bikin ceria. Long live my cats! Sehat-sehat ya semuanya! Jangan suka main jauh-jauh dari rumah ya! *cium jauh
 
***
 
Houseworks
 
Kembali ke rumah, berarti kembali ke rutinitas membabu. Langganan saya: dapur dan cucian. Untuk cucian, thanks to teknologi bernama mesin cuci, saya nggak perlu repot ngucekin baju satu-satu. Tinggal masukin mesin cuci, tuangin sabun, nyalain, tungguin sampe kelar. Kecuali baju seragam putih yang mesti dikucek ekstra bagian kerahnya. Cucian kelar, kemudian dijemur. Rumah saya menganut sistem jemur baju indoor, jadi nggak perlu repot ngangkatin jemuran kalau tiba-tiba turun hujan. Last but not least.. setrika. Ini yang paling malesin, sumuk. Dan makan waktu. Ibu saya masang kipas angin di meja setrika untuk mengatasi problem sumuk ini. Cukup membantu.
 
Lantai dua: setrikaan world (plus dekorasi favorit babeh, reptil!)
 
Selain urusan cucian, saya membabu di urusan dapur juga. Salah satu yang saya rindukan ketika jauh dari rumah adalah dapur. Saya bukan jagoan masak, sama sekali bukan. Tapi saya suka berada di dapur. Saya enjoy masak-masakan. Mulai dari sekedar bikin indomie goreng (mie instan terenak di dunia tiada tanding tiada banding tiada duanya), sampai uji coba resep njelimet dari internet. Saya cukup expert di divisi gorengan. Saya nggak pernah takut kecipratan minyak panas. Saya bisa memperkirakan kapan gorengan harus diangkat dengan melihat warna dan tekstur luar benda yang digoreng. Senjata andalan saya, terutama untuk cumi, udang, dan tahu, adalah tepung goreng sajiku. Bisa dibeli di Griya terdekat. *promosi
 
Masih terkait dengan dapur, kebetulan lebaran lalu kami sekeluarga tidak mudik. Sesuai dengan pengalaman kami selama ini ketika Idul Adha, biasanya selepas sholat Ied tidak ada rumah makan ataupun restoran, atau bahkan warung yang buka. Akhirnya saya bilang "Bu, taun ini kita masak aja." Jadilah, untuk pertama kalinya saya dan ibu masak untuk lebaran. H-1 lebaran, keliling daerah Metro dan Margahayu, mau beli ayam, kentang, hati, dan bumbu-bumbunya. Yang menarik adalah, kami nggak bisa nemu bumbu opor! Kami sudah jelajahi hampir setiap supermarket besar dan kecil, minimarket, warung, dan tetap tidak ada hasilnya! Sold out. Namun ketika kami sudah hampir menyerah dan pulang, ternyata malah di minimarket terdekat dari rumah saya nemu bumbu opor! Itupun setelah mencari-cari di tumpukan, memilah-milah satu persatu. Pure luck.
 
Berhasil akhirnya kami bikin santapan lebaran: opor sayap, sambel goreng ati dan kentang, dan dendeng balado. Plus karak impor langsung dari Solo. Rasanya gimana? Divine, guys. Divine.
 
*** 
 


Selasa, 12 Agustus 2014

Mudik (Part 2)

The Cat and The Tiger
 
Tau lagunya mbak Raisa? Yang ini nih:
 
 
Hehe map ya malah promosi soundcloud. Jadi intinya, mudik sesingkat ini harus dimanfaatkan untuk isi bahan bakar biar cukup buat setahun. Demikian.
 
:3
***
 
My Sweet Old Campus
 
Pulang ke Bandung tanpa sowan ke kampus gajah itu kurang afdol rasanya. Jadilah, saya dan dua orang anggota geng lab radar pun janjian ketemuan di masjid Salman depan kampus. Dua orang anggota geng ini, dua-duanya perempuan. Yang satu kerja di perusahaan swasta ternama di lantai belasan The Plaza, dimana dulu saya ngelamar tapi gagal pas wawancara. Satunya lagi kerja di tempat kerja saya dulu, di bawah bos yang pernah jadi bos saya dulu. Dunia emang sempit sih ya.
 
Rasanya baru kemarin kami sama-sama nongkrong belajar atau ngerumpi bareng di musola kayu labtek lima. Atau ngantri bimbingan ke lab radar. Atau ngaso di residensi telmat sambil ngemil makaroni full MSG. Nggak kerasa. Sekarang udah pada jadi mbak-mbak kantoran, tante-tante, ibu-ibu.
 
Teman saya yang satu, yang dulunya emang udah paling fashionable seangkatan, jadi makin fashionable lagi. Udah mah paling tinggi kedua seangkatan (cewek), kemana-mana nggak lepas dari high heels pula. Saya jadi merasa kurcaci dan hilang self esteem kalo lagi jalan sebelahan. Haha. Yang satunya lagi, sekarang udah dandan. Dulu jaman mahasiswa kan palingan pake bedak doang lah ya kalo keluar rumah, at least biar nggak mengkilap mukanya. Kalo si ibu yang satu ini sudah merambah make up yang tidak sekedar bedak. Setidaknya sudah banyak bermain di mata dan alis. Alasannya, "gara-gara kata nyokap pas gw mau berangkat kantor: kamu itu lho mbak, ngantor kok mukanya kayak nggak mandi".
 
Kami bertiga hari itu keliling kampus berbekal sebuah senjata rahasia. Penemuan terbesar abad ini: tongsis. Benda ini merupakan inovasi yang sarat guna, terlebih bagi kaum yang doyan selfie sekaligus berjiwa kekeluargaan yang tinggi, sehingga lebih suka selfie bersama-sama dengan teman-teman, keluarga, atau siapa saja lah yang ada di sekitar situ. Kami foto-foto di berbagai spot menarik di seantero kampus, misalnya gerbang depan yang bunga ungunya lagi pada mekar, boulevard of broken dreams, intel, depan labtek delapan, depan lab radar, depan teknik mesin (?), dan lain-lain.
 
Boulevard
 
Gerbang depan
 
DPR
 
Depan GSG
 
Fotomodel
Setelah puas foto-foto, kami beranjak ke mall idaman semua pelajar, BIP. Hari itu ceritanya ada reuni kecil-kecilan Telkom 08 cabang Bandung (sedang berdomisili Bandung atau lagi mudik ke Bandung). Makan di D Cost, yang notabene berslogan: "rasa bintang lima, harga kaki lima", tapi sudah agak nggak tepat lantaran harga makanan di D Cost sekarang sudah melonjak drastis, padahal porsi segitu-segitu aja, atau malah makin kecil. Tapi emang ya, mangan ora mangan kumpul. Yang penting itu kumpulnya. Ketemu lagi sama muka-muka familiar. Cerita-cerita, gosip maupun fakta. Daaan akhirnya foto bareng. Fotoboks, karena asalnya mau foto studio tapi gak feasible, kebanyakan antrian.
 
Kalo orang bilang, "SMA itu masa-masa paling indah", saya kok enggak ya. Kuliah di kampus gajah adalah masa-masa paling indah. Indah? Ya, 'berwarna' kayaknya kata yang lebih tepat. Semoga saja suatu saat nanti saya bisa balik mengabdi di kampus ini lagi. Atau kalo enggak ya nyekolahin anak di sini. Atau anak saya yang mengabdi di sini. Apa aja boleh deh. Haha.
 
Aamiin.
 
***

Senin, 11 Agustus 2014

Mudik (Part 1)

Tiga minggu ke belakang saya mudik. Setelah setahun numpang guling-guling di negeri orang, akhirnya saya dapet ijin mudik. Singkat, tiga minggu kerasanya kayak satu kedipan mata. Karena masih belum move on dari suasana mudik, sekalian ditulis deh.
 
***
 
Airport
 
Saya sudah cukup sering naik pesawat, baik penerbangan domestik maupun internasional. Hanya saja, saya belum pernah benar-benar sendiri, tanpa didampingi keluarga atau bareng teman. Pada mudik kali ini untuk pertama kalinya saya terbang sendirian. Emangnya apa bedanya terbang sendiri dan terbang tapi ada temannya? Ya beda.
 
Kalau bareng keluarga, biasanya bapak dan ibuk yang pegang tiket, ngurus cek in, boarding pass, bagasi, airport tax, dan kawan-kawannya. Saya sih tinggal haha hihi, tinggal masuk pesawat. Satu-satunya pengalaman terbang nggak bareng keluarga, Oktober dua tahun lalu, ke Bali bareng teman-teman. Nggak pake cek in di bandara soalnya udah cek in di web. Nggak pake bagasi, soalnya bawa tas ransel doang. Tinggal masuk pesawat.
 
Kali ini agak sedikit beda. Soalnya sendirian. Dan yang namanya mudik, nggak sehari dua hari saja. Bawaan nggak cuma ransel. Saya bawa koper besar dan masih bawa ransel juga. Perjuangan dimulai dari narik koper sambil gendong ransel dari asrama ke stasiun subway sejauh 15 menit jalan kaki. Dari situ naik subway sampe ujuuuung, terus ganti kereta, teruuuus sampe ujung, sampe bandara. Itu juga turunnya di bangunan lain, masih mesti jalan ke bangunan utama bandara.
 
Sampai di bandara, biar aman, cek in dulu. Mondar-mandir dulu cari tempat cek in di maskapai yang benar. Kebetulan saya waktu itu naik Garuda, di bandara Incheon kalau nggak salah cek in nya di lorong H. Ngantrinya mengular, banyak juga yang mau mudik ternyata. Pas giliran saya, saya cek in sekaligus masukin barang yang ke bagasi: si koper. Setelah ditimbang cuma 17 kiloan. Pas saya bilang 'ranselnya di kabin boleh kan mbak?' Si mbak-mbaknya bilang 'coba ditimbang dulu'. Ditimbanglah si ransel. 'Nggak bisa mbak, ranselnya beratnya hampir sembilan kilo'. Buset. 'Lho emang bates maksimal berapa?' '7 kilo'. 'Kalo saya pindah-pindahin dulu sebagian ke koper boleh nggak?' 'Oh boleh'. Akhirnya setelah saya pindahin barang-barang berat di ransel ke koper, ransel saya lolos seleksi untuk dibawa ke kabin. Hura! 
 
Habis itu saya ternyata harus ke bangunan lain dari bandara, karena tempat boardingnya mesti dari sana. Saya naik semacem subway gitu, buat shuttle antara bangunan yang buat cek in dan bangunan yang deket tempat parkir pesawat. Sampai sana, ternyata pesawat saya masih agak lama boardingnya. Alhasil saya klekaran dulu di ruang tunggu. Sambil nguping mbak-mbak dan ibu-ibu pramugari (yes sir, pramugari yang udah ibu-ibu juga banyak) ngobrolin make up dan produk perawatan kecantikan lainnya, beli dimana, harganya berapa, dan sebagainya. Mereka pada duduk tepat di depan saya. Agak pusing juga lama-lama, soalnya pramugari-pramugari itu pada wangi-wangi banget!
 
Pemandangan dari jendela ruang tunggu

Eskalator yang mendatar ini namanya apa sih? :v
Selang beberapa lama, akhirnya boarding juga. Saya dapat tempat duduk di baris tengah, deket lorong (isle). Pas pesawat sudah mengudara, saya lihat kiri kanan, ternyata nggak penuh. Mungkin gara-gara waktu itu hari kerja ya, kan orang-orang banyak yang mudiknya ngepasin di akhir minggu. Waktu itu masih masuk bulan puasa, tapi kebetulan saya sedang cuti puasa. Ketika jam makan siang mbak-mbak pramugari nawarin makan siang, saya iyain aja. Makan siangnya berasa nikmat sekali, pasalnya, saya nggak sarapan, ditambah bawa koper dan ransel sendirian sampe bandara. Menunya bisa milih antara Korean atau Indonesian. Bedanya cuma di main dish nya aja sih, bulgogi atau ayam bumbu bali. I'm sick of bulgogi, akhirnya pilih ayam bumbu bali. Sebelah saya bapak-bapak, orang Indonesia, lagi puasa, wah saya rada nggak enak juga makan di sebelah dia. Tapi saya laper. Banget. Dan sayang sekali fasilitas makan gratis dari Garuda tidak dimanfaatkan. Maaf ya pak. Semoga amal ibadah puasamu dilipatgandakan.
 
Sisa perjalanan saya habiskan dengan mencoba tidur. Walau sebenarnya tidur di pesawat itu nggak ada nyaman-nyamannya. Sampai akhirnya speaker mengumandangkan 'sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta', saya langsung melek. Mendadak excited. Sebentar lagi mendarat. Menginjakkan kaki lagi di tanah air. Pulang.
 
Saya langsung disambut udara panas Jakarta. Sumuk seketika. Setelah ambil bagasi, saya keluar, dan setelah cilang-cileng beberapa saat, akhirnya ketemu juga sama kanjeng mami. Dari Bandung sendirian naik primajasa jemput anak gadisnya. Habis itu kami ke KFC terdekat dulu, beli bekal, lalu naik primajasa pulang ke Bandung.
 
Sepanjang jalan saya memandang ke luar jendela bis. Jalanan macet. Baligo-baligo. Billboard iklan. Tulisan pake abjad normal, bukan hangul. Hello Jakarta, I'm here again. And I'll be home soon. Very soon. 
 
***