Selasa, 18 Juni 2013

Makan Gratisan di Urban Kitchen Pacific Place

Minggu lalu babeh saya menelepon, mengajak makan malam bareng. Tumben. Makan dimana, katanya. Terserah, kata saya. Ketika mengatakan 'terserah' itu saya secara langsung membawa kami ke dalam pilihan yang terlalu banyak karena walaupun sudah dipersempit dengan frase 'yang penting dekat-dekat kosan saja' tetap menghasilkan banyak opsi. Yak. Selamat datang di bilangan SCBD dan sekitarnya; surga kuliner Jakarta Selatan. Bagaimana tidak? Di tengah areal gedung perkantoran yang menjulang, bertaburan restoran-restoran, rumah makan, warung, tumpah. Ruah. Jalan Wolter Monginsidi dan sayap-sayapnya, Senopati, Senayan..

Pernah lihat di suatu acara teve sekaligus pernah baca di suatu bacaan yang entah apa: terlalu banyak pilihan malah bikin nggak hepi. Waduh. Daripada jadi nggak hepi mau pilih makan di mana, akhirnya pilihan jatuh ke lokasi yang benar-benar dekat dengan kosan: Mall Pacific Place (PP).
http://photosfromtheroad.files.wordpress.com/2010/10/pacific-place-jakarta1.jpg
Mall elit tidak merakyat tanpa parkiran motor
PP ini tidak bisa dibilang selemparan batu dari kosan, karena sekuat-kuatnya saya melempar batu dari kosan, boro-boro sampai PP, paling-paling hanya kena pos hansip depan mesjid. Tapi memang PP ini mall terdekat dari kosan saya, hanya 5 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Kenapa memilih mall? Karena setiap mall pasti punya food court yang biasanya merupakan tujuan akhir bagi kaum yang kesulitan menjawab pertanyaan 'mau makan dimana'. Di food court, orang bisa duduk dulu, memandang sekeliling, atau berjalan melihat-lihat, sebelum kemudian memilih makanan yang menarik. Tak perlu terbatasi oleh menu-menu bertema tertentu yang bakal kita temui jika makan di restoran betulan.

Jadilah, hari itu saya dan babeh ke PP. Tidak peduli kalau PP itu mall elit, dengan outfit jins dan kaos barong dan kardigan tipis dan krudung kaos dan crocs bulukan, saya dengan acuh melenggang masuk. Langsung menuju lantai atas (5? atau 6?) yang ada food court nya. Selama bertahun-tahun menjadi petualang di mall-mall, saya sudah menemukan tiga jenis food court berdasarkan cara pembayarannya. Yang pertama, bayar langsung di gerai yang bersangkutan. Cara ini dianut buanyak mall dan memang ini yang paling umum. Kedua, membayar dengan semacam kartu isi ulang. Jadi di sana ada satu counter yang menyediakan sebentuk kartu yang bisa diisi deposit uang, kemudian nantinya kita membayar apapun yang kita beli di gerai manapun dengan kartu itu (kartu digesek, deposit berkurang sesuai harga makanan). Cara ini saya temukan di TSM Bandung (dulunya BSM). Cara ketiga ialah seperti yang berlaku di food court PP: Urban Kitchen (UK). Sebelum masuk area UK, akan ada mbak-mbak membagikan sebuah kartu untuk masing-masing pengunjung. Ketika memesan makanan di gerai manapun, serahkan kartu untuk diisi data pesanan kita, setelah itu kartu kita pegang sampai selesai makan dan akan keluar dari UK, akan ada kasir, kita diminta mengembalikan kartu, lantas membayar sesuai dengan jumlah harga pesanan kita yang terdata di kartu. Demikian.

Apa yang saya pesan di UK? Saat itu merupakan kali ketiga saya mengunjungi UK. Pertama kali ke sana, saya pesan seperangkat makanan a la india, ada rotinya, ada karinya, ada semacam pastel isinya juga. Overall enak, tapi kenyangnya minta ampun. Kali kedua, saya makan sop ikan, which is, jangan dibahas sekarang, karena nanti akan dibahas. Nah. Untuk kunjungan yang ketiga ini saya memutuskan untuk mampir ke gerai Bangkok Bistro. Saya pesan kwetiau siram. Oalah ndhuk, ndhuk. Mangan nang mall gedi tukune kuwi-kuwi meneh. Hehe maaf pemirsa mau gimana lagi saya sukanya kwetiau sih. Ini penampakan kwetiau nya:
Kwetiau Siram a la Bangkok Bistro
Saya sempat terintimidasi ketika pesanan baru datang, masalahnya, piring saji nya super besar! Kuahnya juga super banyak. Kalau kata Jupe di iklan: "sampe tumpeh-tumpeh!" Baiklah biar nggak tumpeh lagi, mari mulai disendok kuahnya. Sendokan pertama. Kesan yang langsung nancep di lidah adalah: asem! Bukan, ini bukan 'asem' yang umpatan seperti yang biasa anda lontarkan setelah tertimpa kesialan, tapi rasa kuahnya memang asem. Asam. Mentang-mentang gerai masakan Thailand ya. Saya belum pernah makan kwetiau siram yang kuahnya asem, tapi tetap enak kok, untungnya. Sendokan pertama membuahkan sendokan kedua, dan sendokan-sendokan berikutnya. Saya mulai menikmati seporsi besar hidangan di hadapan saya itu.

Apa bedanya kwetiau bikinan Bangkok Bistro dibanding kwetiau versi lain yang pernah saya coba? Satu, sudah dibahas, asem. Yang kedua adalah, kwetiaunya. Biasanya kwetiau yang lazim saya konsumsi berbentuk semacam mie kenyal yang gepeng selebar 1-2 cm. Kwetiau yang satu ini bentuknya lebih seperti lembaran-lembaran persegi panjang selebar kartu domino, dan agak lebih tebal dibanding kwetiau biasa. Tapi tetap enak, untungnya. Yang bikin lebih enak lagi tentunya bahan siramannya itu, yang komplit dan royal. Ada wortel, sayuran hijau, jagung muda, jamur, udang, dan cumi. Cuminya menurut saya masih agak amis, tapi bisa ditolerir. Overall, kenyang dan puas. :D

Babeh memesan sop ikan, yang waktu itu saya sudah pernah pesan. Penampakannya seperti ini:
Sop Ikan Batam
Semangkok sop ikan ini disajikan berteman sepiring nasi putih. Gimana rasanya? Waduh. Kuahnya itu loh, segar sekali, apalagi kalau disajikan dalam keadaan masih panas. Hidangan ini sebenarnya sangat sederhana, hanya semangkok kuah panas berisi sayuran dan potongan-potongan daging ikan yang terapung pasrah. Tapi rasanya sungguh sedap. Sehat pula. Mangga dicobian lah pokona mah.

Oiya, saya juga memesan Thai Ice Tea di gerai yang sama dengan tempat saya pesan kwetiau, tapi rasanya ya tipikal Thai Tea saja, nggak spektakuler.

Overall UK di PP (banyak bener singkatannya) ini food court yang lumayan oke. Dari segi atmosfer, nyaman dan bikin betah. Dari segi menu juga cukup variatif, mulai dari bebek goreng, iga dkk, sushi dan bento dkk, pasta dkk, kari dkk, segala ada. Tapi ya karena ono rego ono rupo, menyajikan makanan-makanan berkelas dan bertempat di mall berkelas pula, harga makanannya berkelas juga. Seorang minimal harus merogoh kocek 50ribuan. Tapi buat saya kali itu gratis. Kenapa? Ya kan dibayarin babeh. :D




Pesan moral: ajaklah babeh jika ingin makan di mall mahal. Demi kondisi ekonomi pribadi yang lebih tertata. Sekian.

Tidak ada komentar: