R to the O to the K to the O to the K. Rokok. |
Bukan, bukan karena saya mantan perokok yang kemudian insaf dan ingin berbagi pengalaman gimana kok bisa insaf. Bukan juga karena saya pembenci rokok yang mau berkhotbah memaki-maki perokok. Hmm bukan juga saya tim marketing brand rokok tertentu yang sedang mencoba tipe promosi via blog.
Bukan.
Lantas?
Ya saya cuma mau cerita pengalaman nguping aja sih. Semua berawal dari kemarin lusa pagi. Saya datang ke kantor cukup awal, kebetulan seorang bapak-bapak yang cubicle nya sebelah serong kanan dari saya sedang asyik mengobrol dengan beberapa orang lainnya. Setelah pasang kuping beberapa saat, ternyata topik obrolan mereka adalah, ya, rokok. Dengan si bapak-bapak-cubicle-serong-kanan (selanjutnya akan saya sebut 'si bapak' untuk efisiensi) sebagai narasumber.
Baik, pertama, saya akan ceritakan singkat tentang profil si bapak ini. Beliau pria usia 40an, istri satu anak empat. Kebetulan anak ke 8 dari 11 bersaudara. Dan beliau perokok. Sejak? Jujur ketika si bapak ini menyebutkan sejak kapan mulai merokok, saya rada-rada amazed. Sejak kelas 3 SD, sodara-sodara! Wah yang saya bayangkan langsung ini:
Wait. Kelas 3 SD ya. Ya mungkin gambar di atas kurang merepresentasikan anak kelas 3 SD, tapi kurang lebih begitu lah ya yang muncul di otak saya. Kelas 3 SD gitu meeeen, di saat saya melewatkan masa kelas 3 SD saya dengan turnamen main bekel, si bapak malah rokokan.
Baik, pertama, saya akan ceritakan singkat tentang profil si bapak ini. Beliau pria usia 40an, istri satu anak empat. Kebetulan anak ke 8 dari 11 bersaudara. Dan beliau perokok. Sejak? Jujur ketika si bapak ini menyebutkan sejak kapan mulai merokok, saya rada-rada amazed. Sejak kelas 3 SD, sodara-sodara! Wah yang saya bayangkan langsung ini:
Buset |
Tapi selidik punya selidik, ternyata ada cerita tersendiri di balik pengalaman merokok si bapak yang terlalu dini ini. Jadi dulu waktu beliau masih kecil, uang hasil cari nafkah orangtua beliau nggak cukup untuk membiayai sekolah 11 orang anak. Karena itulah si bapak dan saudara-saudaranya pun bantu-bantu keluarga untuk cari uang, sejak kecil.
Di jaman itu, katanya yang lagi marak adalah pembangunan taman. Saya kurang info juga, taman yang dimaksud di sini taman yang di rumah-rumah ataukah taman kota, pokoknya taman. Si bapak ini cari duit dengan kerja bareng pekerja-pekerja dengan usia jauh di atasnya, bikin taman. Apa yang dikerjakan para pekerja di waktu luang ataupun sembari bekerja? Merokok. Nah, dari situlah si bapak mulai terbawa kebiasaan merokok dari rekan kerjanya.
Sampai detik ini si bapak belum berhenti merokok. Ditanya sama bu manajer yang ikut nimbrung ngobrol juga, katanya dia perlu merokok, biasanya kalo lagi ngonfig sesuatu, stuck, dengan merokok otaknya bisa lebih tercerahkan. "Saya juga kalo ngerokok nggak dihirup sampe ke dalem Bu, cuma di mulut aja.." Nah ini saya bingung, maksudnya di mulut aja itu apa ya rokoknya cuman ditempelin ke mulut aja? Atau mungkin ya dihirup tapi nggak sampe kayak menghirup udara dalam-dalam, tapi itu kan sama aja tetep terhirup? Wallahu 'alam. Saya cengar cengir aja dengernya.
Si bapak juga cerita pengalaman waktu dia ke Singapur. Katanya disana cari rokok susahnya minta ampun. Bahkan setelah nemu rokok pun, di belakang bungkus rokoknya dikasi gambar ngeri tentang orang yang kena dampak merokok, yang paru-parunya item lah, apa lah, pokoknya ngeri, kata si bapak. Trus kalo ngeri, jadinya ngerokok nggak pak? Tetep ternyata. Cuman ya ada permasalahan baru: cari tempat merokok juga susahnya minta ampun. Terus tetep ngerokok nggak pak? Ya tetep juga sih setelah berjuang cari tempat merokok nya.. Haha.
Mau liat kira-kira kayak apa yang si bapak liat di belakang bungkus rokok Singapur? Ini dia. Jengjeeeng! Ngeri gan |
Semacam lifestyle sih, rokok, kalo di Indonesia.
Kalo saya iseng browsing, saya nemu bahwa justru di negara-negara maju itu konsumsi rokok tiap tahunnya makin menurun. Bahkan mulai dilarang dan dibuat undang-undang untuk membatasi eksistensi rokok, karena memang terbukti bahwa rokok itu berbahaya, mereka sadar itu, dan mereka berbuat sesuatu akan itu.
Berarti mungkin para perokok Indonesia tidak sadar akan bahaya rokok ya, mungkin. Atau sadar, tapi 'okay i'll take the risk' (kalo yang ini sih monggo, asal risk nya jangan dibagi-bagi ke orang lain dengan merokok sembarangan, ngepulin asep ke muka orang). Atau mungkin 'ah ya kan sehat, sakit, mati, itu urusan Tuhan, gw ngerokok gak ngerokok juga kalo udah waktunya mati ya mati aja..'
Hal ini juga didukung oleh betapa sayangnya negara ini pada pabrik-pabrik rokok yang sudah seakan pabrik duit, menyumbang uang cukai 80an triliun setiap tahunnya.
Yah, terlepas dari segala kegalauan akan rokok, saya pribadi tidak mau menghujat, tapi juga tidak mendukung, para perokok. Kita hidup berdampingan kan. Saling menghargai saja lah, lakum dinukum waliyadin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar